Jadi Diri Ahlu Sunnah

Mencari Ahlus Sunnah Sejati

images6.jpg

Islam adalah agama dengan pemeluk terbanyak di negeri ini. Bahkan dikatakan, Indonesia adalah negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Jika ditanya paham apa yang dipegang oleh penduduk negeri ini, sebagian besar orang Indonesia akan menjawab mantap, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Kebanyakan mereka yang mengaku Ahlus Sunnah wal Jama’ah di negeri ini juga mengaku bermadzhab fiqih Syafi’iyah. Mereka biasa melakukan qunut setiap raka’at kedua shalat Shubuh. Mereka juga biasa menyelenggarakan acara Maulid Nabi, bahkan juga maulid-maulid ulama-ulama mereka serta juga haul-haul tokoh-tokoh mereka. Saat dirunut tentang masalah keimanan, tokoh penegak tauhid menurut mereka adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidy.

Setelah peristiwa terror demi terror atas nama jihad di Indonesia, tokohnya pun mengaku berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Imam Samudra dalam bukunya, Aku Melawan Teroris halaman 198-199, menulis, “Seperti telah saya sebutkan dalam tulisan terdahulu, bahwa pola pemahaman saya adalah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan Manhaj Salafush-Shalih.” Jika melihat sepak terjang si Imam ini, mungkin tebersit tanda tanya, mengapa Ahlus Sunnah versi Imam berbeda dengan kelompok yang sebelumnya.

Selain dua pengaku di atas, masih banyak juga mereka yang mengaku mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan segala praktek dan keyakinan mereka yang kadang saling berbeda juga.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memang sebuah nama yang mempunyai makna bagus dan indah. Makna sebutan ini menunjukkan keselamatan paham ini dari kesesatan dan penyimpangan. Karena lurusnya paham ini, banyak orang ingin mengikuti paham ini. Karena menunjukkan keselamatan, banyak pula orang yang mengaku sebagai bagian dari paham ini.

Mudahnya, seperti orang menjual bakso. Banyak orang menjual bakso memasang tulisan ‘Sapi Asli’. Sebab, jelas bakso sapi asli selamat dari keharaman. Yang menjual pun ingin menunjukkan jika jualannya terbebas dari hal-hal yang haram. Tidak ada yang mengaku ‘Babi Asli’.

Orang Arab biasa menulis syair untuk praktek seperti ini. Konon, ada gadis cantik bernama Laila. Karena cantiknya, banyak pemuda yang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila. Syair itu berbunyi, Banyak yang mengaku punya hubungan dengan Laila/Namun Laila tidak mengakuinya.

Makna Sebutan Ini

Mengapa Ahlus Sunnah wal Jama’ah laris diaku-aku oleh orang?

Untuk memahami pengertian sebutan ini, perlu dipahami dulu makna As-Sunnah dan Al-Jama’ah. As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan atau cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Seorang ulama, Ibn Rajab Al-Hanbaly berkata, “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry, Imam al-Auza’iy dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh.”

Al-Jama’ah secara bahasa mempunyai pengertian wadah berkumpulnya manusia karena suatu urusan tertentu, minimal jumlahnya dua orang, dan tidak ada batasan maksimalnya, bisa mencapai seribu, dua ribu, dan beribu-ribu, tetapi mereka tetap satu jama’ah.

Pengertian jama’ah secara syariat sendiri ada beberapa. Namun, kesimpulannya ada dua. Pertama, ia disebut Al-Jama’ah apabila bersepakat dalam hal memilih dan menaati seorang pemimpin yang sesuai dengan ketentuan syariat. Kita wajib berpegang kepadanya dan haram keluar darinya. Kedua, Al-Jama’ah adalah jalan yang ditempuh oleh ahlu sunnah yang meninggalkan segala macam bid’ah. Singkat kata adalah orang yang mengikuti jalan hidup Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik sedikit maupun banyak, sesuai keadaan umat serta perbedaan zaman dan tempat. Sahabat Nabi mendapat tempat tertentu yang mulia sehubungan dengan makna ini. Sebab, menurut ulama aqidah, Al-Jama’ah sendiri adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. Lihat artikel rubrik ini pada Majalah Nikah Vol. IV, No. 7, Oktober-Nopember 2005.

Mereka disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan pendahulu umat ini.

Kesimpulannya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridwanullah ‘alaihim ajma’in serta menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.

Islam dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Sebenarnya, dilihat dari maknanya, paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Islam itu sendiri; Islam yang murni, yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang diterima serta dipahami oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah paham baru yang diada-adakan. Ia hanyalah sebutan.

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sendiri sudah ada pada generasi awal Islam, yaitu pada generasi shahabat Nabi, para tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ibnu Abbas t, wafat tahun 68 Hijirah, yang masih terhitung sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika menafsirkan firman Allah, yang artinya, “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.” (Ali Imran: 106), berkata, “Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah ahlu bid’ah dan sesat.” Tafsir Ibni Katsiir (I/419).

Jadi, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun sudah menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kemudian istilah ini diikuti mayoritas ulama Salaf setelah beliau.

Ada juga yang menyatakan bahwa sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah muncul ketika paham-paham sesat merajalela sehingga terbit kekhawatiran manusia tak bisa membedakan orang-orang yang mempunyai paham sebagaimana paham Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang berpaham menyimpang dari paham Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Muhammad bin Sirrin, seorang tabi’in yang lahir pada tahun 33 H dan wafat pada 110 H, berkata, “Dulu para sahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, ketika terjadi fitnah yakni bid’ah, mereka menanyakan, ‘Sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.’ Dengan cara demikian, mereka dapat memeriksa masing-masing periwayat tersebut, apakah mereka itu dari Ahlus Sunnah atau Ahlul Bid’ah. Bila dari Ahlul Sunnah diambil dan bila Ahlul Bid’ah ditolak.”

Perintah Mengikuti Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Jika diteliti lebih lanjut, memang banyak dalil yang menunjukkan kewajiban setiap muslim untuk mengikuti apa yang dikandung oleh makna sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yakni mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.” (Riwayat At-Tirmidzi, Al-Ajurri, Al-Lalikay dan lain-lain, hasan dengan syawahidnya)

Perintah mengikuti Rasulullah sudah jelas tercantum di Al-Quran. Sedangkan perintah mengikuti sahabat tersirat dalam pujian Allah dalam firman-Nya, yang artinya,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Secara logika pun masuk akal, jika seorang muslim wajib mengikuti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ini. Kenyataan hari ini banyak aliran, kelompok, dan golongan menyimpang yang sesat. Mereka mengaku membawa dakwah Islam padahal apa yang mereka bawa penuh dengan penyimpangan dan hal-hal baru yang tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat. Jika ingin selamat dari kelompok semacam ini, tentu Islam yang harus diikuti adalah Islamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, Islam yang masih murni.

Lalu apakah kelompok-kelompok pengaku Ahlus Sunnah wal Jamaah –seperti sebagian disebut di atas- benar-benar mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat? Untuk membahas hal ini tentu memerlukan kajian yang lebih mendalam. Bisa saja mereka mengaku mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah, namun hakikat mereka tidak selalu seindah pengakuannya. Yang menjadi tolok ukur seseorang itu Ahlus Sunnah atau bukan adalah kesesuaian dirinya dengan jalan Rasulullah dan para sahabat. Bukan sekedar pengakuan.

Jadi, sebaiknya kita introspeksi diri dulu. Periksalah diri Anda, apakah Anda seorang Ahlus Sunnah atau bukan. Tentu, untuk memeriksanya, Anda perlu ilmu agama yang cukup.

abu hibban, Majalah Nikah Vol. 5, No. 5

Real Idol

The Real Idol, The Real Uswah

Oleh: Ibn ‘Hibban

Ikhwan sekalian, semoga Alloh Subhaanahu Wa Ta’aala merahmati Antum, Salah satu fenomena anak muda yang paling menonjol dan paling menarik untuk diamati mungkin fenomena “idola”. Bener ‘gak, Coy? Siapa sih anak muda zaman sekarang yang ‘gak kenal kata ini? Remaja-remaja modern pada umumnya mempunyai tokoh-tokoh idola yang mereka kagumi, panuti, cintai, dan mereka gilai. Jujur aja, deh, pasti ada satu bahkan lebih tokoh yang Antum idolakan, dan itu biasanya dari kalangan selebriti, ya ‘kan? Gambar dan foto-foto mereka mungkin menghiasi dinding kamar kita, atribut-atribut mereka kita tiru dan kita kenakan, berita-berita tentang mereka kita buru, bahkan tingkah laku mereka kita ikuti.

Memangnya siapa, sih, tokoh yang biasanya diidolakan anak-anak muda masa kini? K’lo kita survey tentang idola, barangkali bisa dipastikan bahwa lebih dari 80% orang yang diidolakan anak-anak muda berasal dari orang-orang yang berprofesi sebagai penghibur, entah artis film, penyanyi, pemain sepak bola (olahragawan), etc. ‘Gak percaya? Coba aja cek sendiri!

Sebetulnya apa, sih, yang dikagumi anak-anak muda dari para artis dan selebritis? Apa yang membuat mereka menjadi begitu digandrungi dan diidolakan banyak orang? Kayaknya, sih, karena mereka itu cakep dan ganteng atau cantik dan seksi. Sebagian yang lain suka pada aktor dan artis karena mereka itu kaya raya dan gaya hidupnya glamour. Ada juga yang mengidolakan penyanyi karena suara mereka apik dan lagunya enak. Al-Muhim, para selebritis itu digandrungi karena popularitas. Iya ‘gak?

Di era reformasi kayak sekarang ini, yang namanya popularitas seolah memang segalanya. Biar jelek, kusut, dan berantakan ‘gak apa-apa asal populer. Popularitas seolah dilihat sebagai bukti keberadaan kita. Karena popularitas itu juga, banyak anak-anak muda yang tergila-gila dan kebelet pingin jadi idola. Banyak yang ikut audisi inilah, itulah, pokoke macem-macem deh. Akhirnya ‘kan cuma jadi bahan tertawaan tim penguji dan pemirsa di televisi. Jangan gitu dong, Akhi! Ukur dulu kemampuan diri. Pilihan profesi ‘kan bejibun, ‘gak cuma jadi artis dan tukang hibur. Malu atuh, malu!

Barangkali, yang membuat banyak anak muda zaman sekarang kepingin jadi artis dan idola adalah karena profesi ini dianggap enak dan menguntungkan. Kita bisa dapet duit banyak dalam waktu yang relatif singkat. Kita bisa jadi orang ngetop dan dikenal luas dalam waktu yang sangat cepat. Dengan kata lain, itu semua merupakan cara yang instan untuk menjadi orang sukses (ini zaman ‘kan emang serba instan). Siapa sih yang ‘gak mau jadi orang kaya dan orang terkenal dalam sekejap mata?

Jadi orang ngetop itu emang asyik. Jadi idola itu emang dambaan banyak orang. But …, pernah ‘gak sih kita mikir sungguh-sungguh soal ini? K’lo pun kita berhasil jadi orang sukses dan diidolakan banyak orang, apakah kita emang layak untuk diidolakan? Seorang idola so pasti bakal dicontoh dan diikutin banyak orang ‘kan? Bagaimana dengan prilaku kita, tutur kata kita, juga perbuatan kita sehari-hari? K’lo itu semua masih buruk dan morat-marit, bisa gawat dong k’lo diikutin jejaknya sama penggemar. Dosa si penggemar bisa ikut ditanggung tuh. Soalnya ‘kan kita juga yang ngasih example-nya.

K’lo begitu, gimana dong, siapa yang harus dijadikan idola? Sebenarnya, apa sih makna yang terkandung dalam kata “idola”? Kita harus tau apa makna “idola” itu. Jangan cuma sebatas ada dalam kosakata bahasa Indonesia aja, terus kita pake’. Kritis dong, Akhi! Untuk itu, coba kita bedah makna daripada “idola” itu sendiri.

Akan tetapi, sebelumnya perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kata “idola” dalam pembahasan ini adalah model ideal atau suri teladan. ‘Gak lebih dari itu. Ini penting, mengingat istilah “idola” yang berasal dari bahasa Inggris, “idol”, sarat dengan makna yang tidak islami. Untuk lebih memahaminya, kita perlu membahas arti kata ini dari segi bahasa. Jangan cuma pinter nyebutnya doang, Akhi, tapi pas ditanya apa artinya ‘gak tau!

Nah, k’lo merujuk ke Oxford Advanced Learner’s Dictionary, kata “idol” dalam bahasa Inggris ternyata punya dua arti: pertama, a person or thing that is greatly loved or admired. Bahasa Indonesianya kurang lebih, “Seseorang atau sesuatu yang sangat dicintai atau dihargai.” Dalam konteks ini, Akhi, orang tadi, terutama dicintai dan dipuja karena popularitas yang dimilikinya. Makanya, istilah a fallen idol diartikan sebagai seseorang (bintang) yang t’lah kehilangan popularitasnya … mantan selebritis yang udah ‘gak ngetop lagi.

Nah, tadi ‘kan baru disebutkan arti kata idol yang pertama! Truzz … arti katanya yang kedua apa, sih?

Kata Idol dalam pengertian yang kedua agak serem … an image of a god, often carved in stone or wood and used as an object of worship. Artinya kurang lebih begini nih, “Suatu citra Tuhan, seringkali dipahat di atas batu atau kayu dan digunakan sebagai obyek penyembahan.” Makanya, seorang pemuja atau dalam bahasa Inggisnya idolater, didefinisikan sebagai seseorang yang menyembah (atau mengibadahi) suatu idol (a person who worship an idol).

Wah, k’lo udah begini namanya musyrik, Akhi! Berat tuh hukumnya dalam agama. Inti dari ajaran kita ‘kan tauhid … pengesaan Alloh Subhaanahu Wa Ta’aala. Jadi, k’lo kita udah ampe memuja sesuatu seperti Tuhan dan menyembah-nyembahnya, berarti kita udah terjatuh dalam syirik dong. Hukumannya berat tuh, ‘gak ada ampunannya di sisi Alloh Subhaanahu Wa Ta’aala.

Eit…, nanti dulu, dong! Kok, ampe kesana-sana, sih, pembahasannya? Kita ’kan ‘gak memuja idola ampe kayak gitu. Kita cuma memuja dan mengagumi, kok, ‘gak ampe menyembah atau mengibadahi. Lagian juga, pengertian yang tadi ‘kan bukan buat orang, tapi buat benda-benda dari batu atau kayu yang dicitrakan sebagai Tuhan. Slow down, Man!

Mengapa, ya, bisa ada idola dan penggemar? Sebetulnya sih, sederhana aja. Semua itu ‘kan bersumber pada naluri untuk meniru dan mencontoh. Kita semua sebenarnya punya kecenderungan untuk meniru (to imitate). Kecenderungan meniru ini kelihatan banget pada waktu kita masih kecil. Anak kecil ‘kan hobinya meniru apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Makanya ada yang bilang anak kecil itu ya seperti … monkey see monkey do “Monyet liat monyet buat.” ‘Gak percaya …? Coba, deh, yang punya adik kecil, perhatikan tingkah lakunya.

Saking jagonya meniru, anak akan meniru apa aja yang dilihatnya tanpa mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk (namanya juga anak-anak). Makanya, repot tuh k’lo ortunya punya kebiasaan jelek dan cuek dengan pendidikan anaknya. Si anak pasti bakal jadi korban dari contoh-contoh negatif yang ada di sekitarnya. Abis…, apaan aja ditiru ama dia.

Jadi jelas ‘kan, mengapa setiap kita punya kecenderungan meniru. Meniru merupakan salah satu cara kita untuk belajar. Dengan proses meniru, mencontoh, dan mengikuti kita mewarisi pengetahuan dan suri teladan dari orang-orang yang lebih senior dan yang t’lah mendahului kita.

Islam mengajarkan konsep tauhid, pengesaan Alloh Subhaanahu Wa Ta’aala. Alloh ‘Azza Wa Jalla itu satu dan kita semua tau itu. Akan tetapi, masalahnya ternyata nggak semua dari kita mengesakan Alloh dalam ibadah dan sikap hidup kita. Kita diajari bahwa syirik, lawan dari tauhid, merupakan dosa yang paling besar dalam agama. Sebagai dosa yang paling besar, syirik bisa diketahui dengan mudah. Masalahnya, ‘gak semua perbuatan syirik itu mudah dikenali. Boleh jadi ada perbuatan syirik yang kita kerjakan, sementara kita sendiri nggak sadar!

Nah, maka dari itu, kita diajari sebuah do’a oleh Rosululloh Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu:

Ya Alloh, kami berlindung kepada-Mu dari amalan yang menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampun kepada-Mu atas apa-apa yang tidak kami ketahui.

The idol is the measure of the worshiper,” kata James Rusell Lowell. “Idol merupakan parameter bagi si penyembah.” Ana ‘gak tau apakah si James memaksudkan idol di sini hanya sebagai berhala (patung yang terbuat dari batu atau kayu) atau juga termasuk kaum selebritis yang diidolakan. Namun, k’lo dipikir-pikir, pemujaan yang dilakukan anak–anak muda modern terhadap kaum selebritis ada juga kemiripannya dengan pemujaan kaum primitif terhadap patung-patung mereka. Orang dulu memuja patung mati, sementara orang sekarang memuja “patung” hdup.

Lho, kita ‘kan ‘gak pernah ngasih sesajen dan ‘gak pernah nyembah kaum selebritis. Akan tetapi, Akhi, setidaknya pemujaan anak-anak muda sekarang bisa dibilang persis dengan ritual agama. Ah …, yang bener? OK deh, coba kita liat, ya!

Setiap agama biasanya punya nabi yang membawa ajaran dan diikuti ‘kan? Nah, dalam budaya modern ini, para selebritis hampir berfungsi seperti nabi-nabi. Para selebritis tampil dengan membawa nilai-nilai, bahkan mungkin ajaran-ajaran tertentu. Emang sih, mereka ‘gak membawa nilai atau ajaran yang lengkap. Namun, yang mereka bawa itu diikuti oleh para penggemarnya, iya ‘gak?

Diantara para selebritis itu ada yang ngajarin gaya hidup bebas dan semaunya. Ada yang ngajarin gonta-ganti pasangan, bahkan free sex. Ada yang ngajarin cara berpakaian anggun dan rapi, tapi ada juga yang ngajarin cara berpakaian seksi dan seronok. Al-Muhim, apa yang mereka tampilkan atau ajarkan akan diikuti oleh anak-anak muda. Dengan kata lain, bukan Sunnah Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam lagi yang diikuti oleh anak-anak muda masa kini, melainkan “Sunnah” para selebritis. Banyak anak muda modern ‘gak lagi ittiba’urrasuul, tetapi mereka lebih memilih untuk ittiba’ al-artis.

Wah, gawat, dong! K’lo gitu, nanti di akhirat minta syafa’atnya sama para selebritis aja, deh!

Ya, Akhi! Pernah ‘gak sih kita mikirin secara serius mengapa kita suka pada tokoh idola tertentu? Mengapa kita mengidolakan seorang selebritis? Ada apa dengan sang selebritis sehingga layak untuk kita idolakan? What is the reason behind our admiration?

Mengapa sih kita harus bertanya-tanya seperti ini? Soalnya, Akhi, din (agama) itu akal dan masa muda merupakan puncak kemampuan akal kita. Jadi, k’lo kita merasa punya agama … ya digunakan dong akal sehatnya, supaya langkah kita dalam ngejalanin agama menjadi mantap dan perfect.

Nah, sekarang coba direnungkan baik-baik, deh, kira-kira idola-idola yang kita kagumi dan kita contoh itu semakin mendekatkan diri kepada Alloh ‘Azza Wa Jalla atau malah membuat kita makin banyak maksiat dan menjauh dari-Nya? Alloh Subhaanahu Wa Ta’aala menginginkan kebaikan dari diri kita, apakah para tokoh yang kita idolakan juga kepingin diri kita jadi lebih baik? Wah, jangan-jangan banyak yang masih belum ngerti esensi kebaikan dan kebenaran itu sendiri.

K’lo begitu, kita mesti selektif banget, dong, dalam memilih tokoh idola? That’s right, Man! Pasalnya, itu semua untuk kebaikan kita. Hidup ini cuma sekali, segala sesuatunya harus direncanakan dan dipikirkan masak-masak. Gunakan, dong, pikiran kita dengan optimal. Jangan asal pilih dan jangan cuma ikut-ikutan! Kita aja k’lo mau beli sesuatu pasti milih dulu ‘kan, mana yang terbaik untuk diri kita? Yang paling penting dari itu semua, jangan cuma lihat luarnya doang, dalamnya lebih penting, Akhi! Maksudnya yaitu kualitas hati atau bathin.

Masalahnya, zaman sekarang ini, yang namanya kualitas hati atau bathin udah ‘gak laku, tuh. Pada zaman yang katanya modern ini, yang didewa-dewakan dan lebih diutamakan adalah penampilan fisik. “Bathin ente boleh berantakan dan kacau, Man, yang penting penampilan ente mulus dan trendi.” Barangkali begitu moto masyarakat modern yang materialistis.

Ada ‘gak sih yang menonjolkan kualitas hati dan bathin? Kalau hatimu bersih, kamu adalah orang yang hebat. Kalau jiwa kamu kaya dan kamu banyak berbuat baik, itu luar biasa. Kalau akhlak kamu bagus, berarti kamu sukses!

Nah, Akhi, seharusnya kita jangan mudah terpengaruh dengan adanya berbagai teknologi pencitraan yang ada sekarang. Jangan terbuai dengan citra dan penampilan luar. Isi jauh lebih penting, Akhi!

Begitu pula dalam memilih idola serta tokoh yang dikagumi dan diikuti. Pertimbangkan masak-masak dalam memilih idola. Mengapa ana suka sama dia? Apakah dia layak untuk dijadikan idola? Bagaimana kenyataan diri sang idola yang sebenarnya? Apa manfaat yang ana dapat k’lo ana mengidolakan dia?

OK, deh, k’lo begitu, mulai sekarang kita harus menimbang-nimbang dan menyeleksi para idola. K’lo si A ngajarin buka-buka aurat, dia ‘gak lulus jadi idola ana. K’lo si B ternyata suka berzina, buang jauh-jauh. But, how about Rosululloh Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam? Wah, jujur aja, ya …, k’lo beliau, sih, sama sekali ‘gak usah diseleksi. K’lo orang yang luar biasa seperti beliau dianggap ‘gak layak atau ‘gak menarik untuk dijadikan idola, who else?

Kita harus selektif dalam memilih calon-calon tokoh idola. K’lo kira-kira banyak ngasih contoh negatif dan ‘gak ideal untuk diidolakan, ngapain juga kita kagumi dan ikuti! K’lo dengan mengidolakan tokoh itu kita malah jadi menyimpang dari ajaran Alloh Subhaanahu Wa Ta’aala dan mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil, mending ‘gak usah deh!

Kita semua yang Muslim tentunya sudah terdoktrin bahwa Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam adalah manusia terbaik pilihan Alloh ‘Azza Wa Jalla yang paling layak dijadikan suri teladan. Namun, sekarang yang penting adalah sejauh mana kita mengerti dan merasakan keagungan sosok manusia bernama Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam. Sejauh mana kita bisa merasakan besarnya cinta beliau, tingginya keluhuran budi beliau, dalamnya kesabaran beliau dalam menghadapi penderitaan, serta dahsyatnya keagungan akhlak beliau yang Alloh sendiri memberikan pujian-Nya kepada beliau. Alloh berfirman:

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)

Pada ke mana aja, sih, hari gini belum kenal Rosululloh Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam? Padahal, banyak, lho, intelektual nonmuslim yang terkagum-kagum pada beliau. Antum ‘kan udah tau bagaimana sejarah hidup beliau yang penuh hikmah dan perjuangan hingga agama Islam ini bisa berdiri kokoh sampai saat ini. Masa, sih, Antum ‘gak merasa kagum kepada orang yang menyelamatkan kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang-benderang ini? We must be proud with him!

Nah, kita perlu merenungkan kembali pilihan-pilihan kita selama ini. Gunakan akal sehat, Akhi! Jangan melakukan sesuatu semata karena ikut-ikutan teman atau tren. Teman dan tren boleh jadi malah menyeret kita ke jurang kenistaan, baik di dunia maupun di akhirat. Jangan juga mengagumi para artis dan selebritis secara membuta. Para selebritis kayaknya ‘gak pernah membimbing kita ke surga, deh! Emang sih, adanya idola-idola itu membuat kita asyik banget, tapi apakah ia seterusnya bakal asyik? Apa itu bakal asyik selamanya? Gimana k’lo pada akhirnya kita malah jadi rugi dan hancur lebur?

Alloh ‘kan udah berfirman: ” …Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqoroh: 216)

Makanya, k’lo memilih itu jangan pakai pertimbangan enak atau ’gaknya, Akhi. Ini, sih, kayak anak kecil yang memutuskan segala sesuatunya berdasarkan enak atau ‘gaknya aja. Hmm, emang enak, sih, mengidolakan selebritis fulan atau fulanah, tapi, apa untungnya, ya? Apa faedahnya? Apa ana bisa dapat kebaikan dengan mengidolakan dia … atau jangan-jangan nantinya malah ketimpa yang buruk-buruk? Hiii…, ‘gak banget deh!

Mending juga mengagumi Rosululloh Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya Ridhwaanullohi ‘alaihim Ajma’in. Alasannya udah jelas ‘kan? Pertama, beliau memang layak untuk dicintai. Kedua, Rosululloh Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam adalah sosok pribadi yang lengkap dan paripurna. ‘Gak ada yang bisa menguasai banyak hal seperti beliau. Beliau adalah yang the best diantara para nabi, apalagi diantara semua manusia. Ketiga, mencintai dan mengikuti jejak langkah beliau banyak manfaatnya. Di dunia dan di akhirat kita bakal jadi orang yang berhasil dan selamat. Keempat, Alloh aja memuji beliau dan memerintahkan kita untuk mentaati beliau, kita kok malah memuji selebritis dan menuruti gaya hidup mereka. Gimana, dong? He is the best, Man, And no one can be compared with him.

Makanya, Akhi, ‘gak ada alasan lagi untuk tidak mencintai dan mengikuti jejak beliau Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau adalah orang yang sesungguhnya layak dikagumi dan dihargai … The Real Idol. Beliau juga merupakan orang yang layak untuk dicontoh dan diikuti … The Real Uswah (suri teladan). Ya Alloh, ajari kami untuk mengenali dan mencintai rasul-Mu lebih dalam lagi, dan bimbing kami untuk mengagumi dan mengikuti beliau sekuat kemampuan kami. Semoga kita termasuk orang-orang yang mengikuti teladan-teladan beliau Shollallaahu ‘alaihi wa Sallam dan menjadi hamba-Nya yang beruntung. Amin. Allohu A’lam.*

*Dikutip dari buku ‘The Real Idol’ karya Alwi Alatas dengan sedikit perubahan dan tambahan.