Mencari Ahlus Sunnah Sejati
Islam adalah agama dengan pemeluk terbanyak di negeri ini. Bahkan dikatakan, Indonesia adalah negeri dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Jika ditanya paham apa yang dipegang oleh penduduk negeri ini, sebagian besar orang Indonesia akan menjawab mantap, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Kebanyakan mereka yang mengaku Ahlus Sunnah wal Jama’ah di negeri ini juga mengaku bermadzhab fiqih Syafi’iyah. Mereka biasa melakukan qunut setiap raka’at kedua shalat Shubuh. Mereka juga biasa menyelenggarakan acara Maulid Nabi, bahkan juga maulid-maulid ulama-ulama mereka serta juga haul-haul tokoh-tokoh mereka. Saat dirunut tentang masalah keimanan, tokoh penegak tauhid menurut mereka adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidy.
Setelah peristiwa terror demi terror atas nama jihad di Indonesia, tokohnya pun mengaku berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Imam Samudra dalam bukunya, Aku Melawan Teroris halaman 198-199, menulis, “Seperti telah saya sebutkan dalam tulisan terdahulu, bahwa pola pemahaman saya adalah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan Manhaj Salafush-Shalih.” Jika melihat sepak terjang si Imam ini, mungkin tebersit tanda tanya, mengapa Ahlus Sunnah versi Imam berbeda dengan kelompok yang sebelumnya.
Selain dua pengaku di atas, masih banyak juga mereka yang mengaku mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan segala praktek dan keyakinan mereka yang kadang saling berbeda juga.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memang sebuah nama yang mempunyai makna bagus dan indah. Makna sebutan ini menunjukkan keselamatan paham ini dari kesesatan dan penyimpangan. Karena lurusnya paham ini, banyak orang ingin mengikuti paham ini. Karena menunjukkan keselamatan, banyak pula orang yang mengaku sebagai bagian dari paham ini.
Mudahnya, seperti orang menjual bakso. Banyak orang menjual bakso memasang tulisan ‘Sapi Asli’. Sebab, jelas bakso sapi asli selamat dari keharaman. Yang menjual pun ingin menunjukkan jika jualannya terbebas dari hal-hal yang haram. Tidak ada yang mengaku ‘Babi Asli’.
Orang Arab biasa menulis syair untuk praktek seperti ini. Konon, ada gadis cantik bernama Laila. Karena cantiknya, banyak pemuda yang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila. Syair itu berbunyi, Banyak yang mengaku punya hubungan dengan Laila/Namun Laila tidak mengakuinya.
Makna Sebutan Ini
Mengapa Ahlus Sunnah wal Jama’ah laris diaku-aku oleh orang?
Untuk memahami pengertian sebutan ini, perlu dipahami dulu makna As-Sunnah dan Al-Jama’ah. As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan atau cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Seorang ulama, Ibn Rajab Al-Hanbaly berkata, “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry, Imam al-Auza’iy dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh.”
Al-Jama’ah secara bahasa mempunyai pengertian wadah berkumpulnya manusia karena suatu urusan tertentu, minimal jumlahnya dua orang, dan tidak ada batasan maksimalnya, bisa mencapai seribu, dua ribu, dan beribu-ribu, tetapi mereka tetap satu jama’ah.
Pengertian jama’ah secara syariat sendiri ada beberapa. Namun, kesimpulannya ada dua. Pertama, ia disebut Al-Jama’ah apabila bersepakat dalam hal memilih dan menaati seorang pemimpin yang sesuai dengan ketentuan syariat. Kita wajib berpegang kepadanya dan haram keluar darinya. Kedua, Al-Jama’ah adalah jalan yang ditempuh oleh ahlu sunnah yang meninggalkan segala macam bid’ah. Singkat kata adalah orang yang mengikuti jalan hidup Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik sedikit maupun banyak, sesuai keadaan umat serta perbedaan zaman dan tempat. Sahabat Nabi mendapat tempat tertentu yang mulia sehubungan dengan makna ini. Sebab, menurut ulama aqidah, Al-Jama’ah sendiri adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. Lihat artikel rubrik ini pada Majalah Nikah Vol. IV, No. 7, Oktober-Nopember 2005.
Mereka disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan pendahulu umat ini.
Kesimpulannya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridwanullah ‘alaihim ajma’in serta menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Islam dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Sebenarnya, dilihat dari maknanya, paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah Islam itu sendiri; Islam yang murni, yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang diterima serta dipahami oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah paham baru yang diada-adakan. Ia hanyalah sebutan.
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sendiri sudah ada pada generasi awal Islam, yaitu pada generasi shahabat Nabi, para tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Ibnu Abbas t, wafat tahun 68 Hijirah, yang masih terhitung sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika menafsirkan firman Allah, yang artinya, “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.” (Ali Imran: 106), berkata, “Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah ahlu bid’ah dan sesat.” Tafsir Ibni Katsiir (I/419).
Jadi, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun sudah menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kemudian istilah ini diikuti mayoritas ulama Salaf setelah beliau.
Ada juga yang menyatakan bahwa sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah muncul ketika paham-paham sesat merajalela sehingga terbit kekhawatiran manusia tak bisa membedakan orang-orang yang mempunyai paham sebagaimana paham Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang berpaham menyimpang dari paham Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Muhammad bin Sirrin, seorang tabi’in yang lahir pada tahun 33 H dan wafat pada 110 H, berkata, “Dulu para sahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, ketika terjadi fitnah yakni bid’ah, mereka menanyakan, ‘Sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.’ Dengan cara demikian, mereka dapat memeriksa masing-masing periwayat tersebut, apakah mereka itu dari Ahlus Sunnah atau Ahlul Bid’ah. Bila dari Ahlul Sunnah diambil dan bila Ahlul Bid’ah ditolak.”
Perintah Mengikuti Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Jika diteliti lebih lanjut, memang banyak dalil yang menunjukkan kewajiban setiap muslim untuk mengikuti apa yang dikandung oleh makna sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yakni mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.” (Riwayat At-Tirmidzi, Al-Ajurri, Al-Lalikay dan lain-lain, hasan dengan syawahidnya)
Perintah mengikuti Rasulullah sudah jelas tercantum di Al-Quran. Sedangkan perintah mengikuti sahabat tersirat dalam pujian Allah dalam firman-Nya, yang artinya,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Secara logika pun masuk akal, jika seorang muslim wajib mengikuti jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ini. Kenyataan hari ini banyak aliran, kelompok, dan golongan menyimpang yang sesat. Mereka mengaku membawa dakwah Islam padahal apa yang mereka bawa penuh dengan penyimpangan dan hal-hal baru yang tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat. Jika ingin selamat dari kelompok semacam ini, tentu Islam yang harus diikuti adalah Islamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, Islam yang masih murni.
Lalu apakah kelompok-kelompok pengaku Ahlus Sunnah wal Jamaah –seperti sebagian disebut di atas- benar-benar mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat? Untuk membahas hal ini tentu memerlukan kajian yang lebih mendalam. Bisa saja mereka mengaku mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah, namun hakikat mereka tidak selalu seindah pengakuannya. Yang menjadi tolok ukur seseorang itu Ahlus Sunnah atau bukan adalah kesesuaian dirinya dengan jalan Rasulullah dan para sahabat. Bukan sekedar pengakuan.
Jadi, sebaiknya kita introspeksi diri dulu. Periksalah diri Anda, apakah Anda seorang Ahlus Sunnah atau bukan. Tentu, untuk memeriksanya, Anda perlu ilmu agama yang cukup.
abu hibban, Majalah Nikah Vol. 5, No. 5